Sabtu, 13 Oktober 2012

Karakteristik SDM Takmir Masjid

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.(QS 3:110, Ali ‘Imran)

Ta’mir Masjid adalah organisasi yang memiliki kaitan sangat erat dengan Islam dan Masjid. Setelah mengikuti aktivitas yang diselenggarakan diharapkan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi jama’ahnya, insya Allah, dapat memiliki karakter yang islami. Berikut ini adalah beberapa karakter yang diharapkan dapat menjadi ciri khas jama’ah Masjid.



MUSLIM YANG BERIMAN.

Seorang manusia dapat disebut muslim setelah dia mengucapkan syahadah, bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Dengan ucapan persaksian ini dia telah menjadi bagian jama’ah muslimin dan bersaudara karena agama. Selanjutnya dia terpelihara darah, kehormatan dan hartanya.
Dan  katakanlah: "Kebenaran  itu  datangnya  dari Tuhanmu,   maka  barang siapa  yang   ingin   (beriman) hendaklah  ia  beriman,  dan barang  siapa  yang  ingin  (kafir)  biarlah  ia kafir. "Sesungguhnya Kami  telah sediakan bagi orang-orang yang dzalim itu neraka,  yang gejolaknya  mengepung mereka. Dan jika  mereka  meminta minum,  niscaya  mereka akan diberi  minum  dengan  air seperti  besi  yang mendidih yang  menghanguskan  muka. Itulah  minuman yang paling buruk dan tempat  istirahat yang paling jelek.
(QS 18:29, Al Kahfi).
Tidak  ada paksaan untuk (memasuki)  agama  (Islam); sesungguhnya  telah  jelas jalan yang benar  dari  pada jalan  yang salah. Karena itu barang siapa yang  ingkar kepada   Thaghut   dan  beriman  kepada   Allah,   maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat  kuat  yang  tidak  akan  putus.  Dan  Allah Maha  Mendengar   lagi  Maha  Mengetahui.  (QS  2:256,   Al Baqarah).


Pada   hari  ini  telah   Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah  Kucukupkan kepadamu  ni'mat-Ku, dan  telah  Kuridloi Islam itu jadi agama bagimu.  (QS 5:3, Al Maaidah)

Sesungguhnya  agama (yang diridloi)  di  sisi  Allah hanyalah  Islam.  Tiada  berselisih  orang-orang   yang telah   diberi Al  Kitab  kecuali   sesudah   datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat  hisab-Nya. (QS 3:19, Ali 'Imran).

Barang siapa yang mencari agama selain agama  Islam, maka  sekali-kali  tidaklah akan diterima  (agama  itu) daripadanya,  dan dia di akhirat  termasuk  orang-orang yang rugi.    (QS 3:85, Ali 'Imran).

Islam adalah jalan hidup (way of life) yang dihadirkan untuk umat manusia. Keislaman seseorang tidaklah cukup hanya dalam ucapan syahadah saja, atau lebih luas dengan apa yang disebut sebagai rukun Islam. Islam harus diterima secara kaffah atau totalitas, tidak menerima sebagian dan menolak sebagian ajaran Islam yang lain karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya.

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah Syaitan. Sesungguhnya Syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS 2:208, Al Baqarah)

Demikian pula setelah beriman seorang mukmin harus tetap istiqomah (konsisten) di dalam keimanan itu. Meskipun cobaan dan rintangan datang silih berganti dalam kehidupannya.

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu  jangan sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang ragu.  (QS 2:147, Al Baqarah).

Wahai  orang-orang yang beriman ,  tetaplah  beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang  Allah turunkan  kepada  Rasul-Nya,  serta  kitab  yang  Allah turunkan  sebelumnya.  Barang siapa yang  kafir  kepada Allah,  malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,  rasul-rasul-Nya,  dan hari kemudian, maka sesungguhnya  orang itu  telah  sesat  sejauh-jauhnya .   (QS  4:136,   An Nisaa').

Jama’ah Masjid tidaklah cukup disebut muslim, tetapi dia harus mukmin. Artinya, Islam yang telah dipilihnya harus menjadi suatu keyakinan yang terimplementasi, bukan sekedar formalitas tanpa tindak lanjut atau bukti keimanan. Sebagaimana makna iman itu sendiri sebagai kepercayaan yang diyakini dalam hati, diucapkan secara lesan dan diimplementasikan dalam amal perbuatan.

Orang-orang Arab Badui itu berkata “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS 49:14, Al Hujuraat).

Apakah  manusia itu mengira bahwa  mereka  dibiarkan saja  mengatakan: "Kami telah beriman",  sedang  mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya Kami telah  menguji orang-orang  yang  sebelum  mereka,  maka  sesungguhnya Allah    mengetahui   orang-orang   yang   benar    dan sesungguhnya  Dia  mengetahui orang-orang  yang  dusta.    (QS 29:2-3, Al Ankabuut).

Bukti daripada keimanan itu adalah taqwa yang nampak dalam perilaku amal shalih. Taqwa menjadi ukuran dan kriteria sejauh  mana keimanan seorang muslim. Taqwa inilah yang menjadi sasaran upaya pembinaan jama’ah. Dengan ketaqwaannya mereka akan berusaha mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS 49:13, Al Hujuraat).

MUSLIM YANG BERILMU

Jama’ah Masjid seharusnya   berusaha    memperdalam pengetahuan  tentang ajaran Islam  sesuai  dengan kemampuannya,  dan dilakukan sepanjang  hidupnya  (long life  education). Karena sebagai seorang muslim,  mengilmui  Islam adalah  merupakan  suatu kewajiban dalam  rangka melaksanakan tugas penghambaan kepada Allah.
Syariat Islam bersumber kepada Al Quraan dan As Sunnah, oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi jama’ah untuk berusaha  mempelajari  dan   memahami keduanya sesuai dengan kemampuannya. Agar tidak  tersesat dari  jalan yang benar ke jalan  yang tidak  diridlai Allah.  Al  Quraan  adalah  wahyu  Allah  yang  diturunkan kepada  Rasul-Nya,  untuk menjadi  petunjuk  bagi  umat manusia.  Sudah  barang tentu bagi seorang muslim harus ada keterikatan  dengan Al  Quraan, berusaha mempelajari  dan  memperhatikannya, tidak mengabaikannya sebagaimana dikeluhkan Rasulullah.

Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya  kaumku menjadikan Al Quraan ini suatu yang tidak diacuhkan."   (QS 25:30, Al Furqan).

Sebagai  petunjuk bagi umat manusia agar selalu  berada di  jalan yang lurus Al Quraan telah dimudahkan  untuk dipelajari. Bagi jama’ah Masjid adalah wajar  untuk memperhatikan  dan  mempergunakannya  sebagai  petunjuk dalam hidup ini.

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quraan  untuk pelajaran,  maka  adakah  orang  yang   mengambil pelajaran?  (QS 54:17,22,32,40, Al Qamar).

Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al Quraan ini.   (QS 56:81, Al Waqi'ah).

Disamping  Al  Quraan , sumber ajaran Islam  yang  lain adalah  As Sunnah atau Al Hadits. Al Hadits adalah berita atas ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap suatu masalah. Berita tersebut telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab hadist yang telah dikenal umat Islam secara luas. Kodifikasi tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab hadits seperti yang telah disusun  oleh para pencatat atau periwayat hadits di antaranya Bukhori, Muslim, Abu dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, Nasa’i dan lain sebagainya.

Sesungguhnya  telah ada pada (diri)  Rasulullah  itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang  yang mengharap  (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari  kiamat dan dia banyak menyebut Allah.  (QS 33:21, Al Ahzab).

Sunnah  Rasul  adalah  sumber ajaran  Islam  yang  lain setelah  Al  Quraan. Selama umat Islam  berpegang  pada keduanya,  mereka  tidak  akan    tersesat   demikian    pula    sebaliknya  meninggalkan keduanya menyebabkan  mereka tersesat  dari  jalan yang lurus  dan  terombang-ambing  dalam   badai  kehidupan. Karena itu seharusnya jama’ah berusaha  untuk mengilmui  Islam dengan mempelajari Al Quraan dan Al Hadits
sesuai dengan  kemampuannya  tidak  hanya  sekedar   mengikuti pendapat  para Intelektual, Ulama atau Mengkaji  Al Quraan dan Al Hadits  merupakan  kewajiban bagi  seorang  muslim termasuk jama’ah Masjid. Dimulai  dari  cara  membaca kemudian  diikuti  dengan  menelaah  dan  memahami  isi bahkan  bila memungkinkan sampai dapat  mengajarkannya. Memang,  tidak setiap muslim harus menjadi Ulama   atau Kyai yang ahli  Al  Quraan dan Al Hadits maupun  ilmu-ilmu  agama yang  berkaitan  dengan  keduanya.
Namun  yang   perlu ditekankan adalah adanya kesadaraan dari seorang muslim untuk  mengilmui Islam dari sumbernya yang asli,  yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Bacalah  dengan  (menyebut)  nama   Tuhanmu   yang menciptakan,   Dia  telah  menciptakan   manusia   dari segumpal  darah.  Bacalah,  dan  Tuhanmulah  Yang  Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan  perantaraan kalam.  Dia mengajarkan kepada manusia apa  yang  tidak diketahuinya.  (QS 96:1-5, Al 'Alaq).

Disamping ilmu  agama sebagai   tugas   utama  (fardlu ‘ain) dalam  menuntut   ilmu,   jama’ah juga  dianjurkan untuk  mempelajari berbagai ilmu yang  lain. Hal ini dimaksudkan untuk mencari  keutamaan sesuai dengan  kemampuan  dan kecenderungan-kecenderungan  mereka terhadap  ilmu-ilmu kealaman, sosial maupun humaniora dan lain sebagainya.


MUSLIM YANG BERAMAL

Setiap jama’ah Masjid sudah seharusnya memanfaatkan iman  dan ilmu   pegetahuannya dalam   aktivitas kehidupan.  Pemanfaatan ini merupakan wujud implementasi dalam karya berupa  amal-amal  shalih  sesuai   dengan kemampuannya.  Dengan demikian  perilaku  kesehariannya akan  diwarnai oleh keyakinannya terhadap  Islam.
Iman bukan saja membekas di dalam hati tetapi juga terungkap dalam kehidupannya. Pengetahuannya tentang Islam  tidak berhenti  sebagai  ilmu belaka dan pemahamannya  terhadap Islam  tidak  terbatas  sebagai  islamologi  sebagaimana orientalis,  namun dinyatakan dalam  kehidupan  sehari-hari.  Dengan  demikian iman dan ilmu yang  dimiliki  menjadi bermanfaat terutama bagi dirinya dan masyarakat sekitarnya

Dan  katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka  Allah  dan Rasul-Nya   serta   orang-orang  mu'min   akan  melihat pekerjaanmu  itu,  dan kamu  akan  dikembalikan  kepada  (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu  diberitakan-Nya kepada kamu apa yang  telah  kamu kerjakan.”    (QS 9:105, At Taubah).

Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik  laki-laki  maupun  perempuan  dalam  keadaan  beriman,  maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik  dan sesunggguhnya akan Kami beri  balasan  kepada mereka  dengan  pahala yang lebih baik  dari  apa  yang telah mereka kerjakan. (QS 16:97, An Nahl).

MUSLIM YANG BERDA’WAH

Islam  adalah  agama bagi seluruh umat  manusia,  tidak hanya  untuk ras atau golongan tertentu.  Islam  adalah agama universal. Wajar, bahkan harus,  apabila jama’ah memiliki rasa   terikat  diri  untuk  menda'wahkan   Islam   dan menyebarkan agama ini sebagai rahmat bagi semesta alam. Jama’ah seharusnya berusaha untuk menda'wahkan  Islam  sesuai dengan  kemampuannya kepada muslim maupun yang belum muslim.
Menda'wahkan Islam adalah merupakan komitmen muslim yang memiliki   nilai  kemanusiaan tinggi.  Mengajak manusia  kepada  aqidah tauhid,    membimbing   mereka    ke   jalan  yang lurus serta menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Meskipun misi da’wah dapat dilaksanakan  sendiri-sendiri  oleh setiap individu muslim, namun berda’wah secara  kolektif dan profesional merupakan kebutuhan yang sangat perlu.  Da'wah yang dilakukan  secara  terorganisir, insya  Allah,  akan  dapat memberikan  hasil lebih  efisien,  efektif  dan memuaskan.

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru  kepada kebaikan, menyuruh kepada  yang  ma'ruf dan  mencegah dari yang mungkar; merekalah  orang-orang yang beruntung.  (QS 3:104, Ali Imran).


Jama’ah Masjid harus memegang  teguh  komitmennya dalam  menda'wahkan  Islam. Artinya mereka  berusaha untuk menda'wahkan  Islam  kepada umat  manusia  serta  berupaya  untuk  terlibat   dalam aktivitas da'wah islamiah. Keterlibatan dalam da’wah dapat dengan pikiran (bilfikr) dengan tindakan langsung (bilhal), dengan ucapan (billisan), dengan harta (bilmal), dengan tulisan (bilqalam) maupun dengan jiwa (binnafs) bilamana perlu. Semakin intensif dan beragam jenis keterlibatan jama’ah dalam aktivitas da’wah semakin lebih baik.


MUSLIM YANG BERSABAR

Jama’ah Masjid harus bersabar di dalam mengikuti  kebenaran. Sabar berarti  berusaha  untuk  mengatasi  permasalahan  yang dihadapi  dengan tabah lahir dan batin,  serta  diikuti dengan sikap tawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa. Sabar bukan berarti sekedar 'nrimo' atau pasrah  dalam menerima  masalah, namun lebih dari itu  juga  memiliki makna  akan adanya usaha. Jadi sabar  selain  memiliki pengertian  kepasrahan  (tawakkal)  kepada  Allah   juga mengandung  makna berusaha (ikhtiyar) untuk mengatasi  permasalahan yang  dihadapi.

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu  dan kuatkanlah  kesabaranmu  dan  tetaplah  bersiap   siaga  (diperbatasan  negerimu) dan bertakwalah kepada  Allah, supaya kamu beruntung. (QS 3:200, Ali 'Imran).

Bagi jama’ah Masjid dalam rangka untuk  tetap istiqomah dalam memeluk Islam akan berusaha menjadikan sabar sebagai bagian dari karakternya; serta menjadikannya   sebagai penolong  karena Allah beserta dengan orang-orang  yang sabar.


MUSLIM YANG BERIBADAH

Kehadiran  manusia  di bumi bukan  atas  kemauannya sendiri,  tetapi  atas kehendak  Yang  Maha   Pencipta. Manusia  diciptakan  Allah  dalam  bentuk  yang  sebaik-baiknya. Baik ditinjau secara psikis maupun fisik  manusia  merupakan makhluk ciptaan  Allah  yang memiliki kelebihan dari yang lain. Secara psikis manusia  bukan  saja  mampu   mempergunakan   perasaan berfikir   secara  instinktif,  tetapi  juga   memiliki kemampuan  untuk mempergunakan akalnya berfikir  secara rasional.  Secara  fisik, manusia  memiliki otak  yang  merupakan organ  penting dan anatomi tubuh   yang   memungkinkan melakukan  aktivitas  gerak  dengan  lebih  leluasa   dan cekatan serta efektif. Keberadaan  manusia  di bumi  tidak   lain adalah untuk mengemban tugas pengabdian sebagai hamba Allah.



Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia  melainkan supaya   mereka   menyembah-Ku.   (QS   51:56,   Adz Dzaariyaat).

Tugas penghambaan ini dilaksanakan manusia dengan  cara melakukan ibadah, baik ibadah dalam  arti khas (mahdloh) maupun dalam arti luas. Endang Saifuddin  Anshari, MA,  memberikan  makna ibadah dalam arti   khas  sebagai segala   tata  cara,  acara  dan  upacara  pengabdian langsung  manusia kepada Allah, yang segala sesuatunya secara    terperinci    sudah    digariskan    oleh    Allah   dan  RasulNya; seperti    Shalat,    Zakat,   Shaum,    Haji   dan  lain    sebagainya yang   bertalian   erat   dengan   hal-hal termaksud. Sedangkan 'ibadah dalam arti luas  (meliputi antara lain 'ibadah dalam arti khas) ialah  pengabdian, yaitu   segala  perbuatan,  perkataan  dan  sikap   yang bertandakan:  (1)  Ikhlas sebagai  titik  tolak;  (2) Mardlatillah  sebagai titik tuju; dan (3)  Amal  Shalih sebagai garis amal, termasuk di dalamnya antara lain: mencari   nafkah,  mencari  ilmu,  mendidik,   bertani, bekerja-buruh, memimpin negara dan masyarakat dan  lain sebagainya.
Sebagai  hamba  Allah manusia harus  tunduk  dan  patuh  (islam)   kepada   Allah.   Ketunduk-patuhan   tersebut dilakukan  dengan mengambil Islam sebagai agama  secara kaffah.  Manusia harus berani meninggalkan  agama-agama atau paham-paham (isme-isme) yang sesat. Pada  dasarnya semua  agama itu sesat kecuali  Islam. Islam-lah  agama yang  dibawa  para utusan Tuhan Yang Maha  Tahu,  sejak dari  Adam  sampai Rasulullah Muhamad shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Nabi  Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang lainnya membawa risalah Islam,   suatu  syariat  yang  mengajak  umat   manusia menegakkan  iman  tauhid dan tunduk  patuh  kepada-Nya. Di  dalam menyembah Allah,  manusia  harus berlaku  ikhlas  dan  memurnikan  ketaatan   kepada-Nya semata.

Katakanlah: "Sesungguhnya sembahyangku,  ibadatku,  hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan  semesta alam.  Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah  yang diperintahkan  kepadaku  dan  aku  adalah  orang   yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”  (QS 6:162-163, Al An'aam).

Pemurniaan  ketaatan  kepada Allah  adalah  suatu  yang diperlukan   umat   manusia   supaya   tidak    terjadi penyelewengan  terhadap ajaran agama yang  dibawa  para Rasul,  seperti  yang  terjadi  pada  umat  Yahudi  dan Nashrani. Di  dalam  mengemban tugas hidup  sebagai  hamba  Allah manusia melaksanakan fungsinya selaku Khalifah Allah di bumi, melaksanakan segala yang diridloi-Nya di atas bumi untuk  mengkulturkan  natur dan dalam waktu  yang  sama untuk  meng-Islam-kan kultur.  Sebagai  Khalifah  Allah manusia berusaha untuk memakmurkan bumi, mengolah sumber   daya   alam  bagi  kemajuan   kebudayaan   dan peradaban  serta kebahagiaannya,  mempergunakan  nikmat kekhalifahan ini untuk bersyukur dalam rangka  mengabdi kepada-Nya.
Manusia  diciptakan  Allah  bukanlah  dengan   sia-sia, tetapi  memiliki  tujuan yang  esensial. Dr. Murthada Mutahhari mengungkapkan: "Dengan demikian tujuan  hidup  menurut  Al  Quraan  adalah  Allah   itu sendiri.  Segala sesuatu hanya karena Allah atau  Tuhan Semesta   Alam.  Segalanya  dikerjakan   dalam   rangka mempersiapkan  agar  memperoleh  ridlo  Allah.   Bukan semata-mata  bertujuan untuk meraih  keuntungan  secara bebas  tanpa  batas."
Allah  mencintai  hamba-Nya  yang  beriman,  yang   mau mengerti akan keberadaannya di muka bumi nan fana  ini. Manusia  yang  mau  memahami  keberadaan  dirinya  akan berusaha  menjaga diri dengan berlaku  taqwa  kepada penciptanya,  tidak larut  dalam  kenikmatan-kenikmatan duniawiah sehingga lupa kepada Tuhannya. Manusia  yang seperti  ini  memilih tujuan hidup  yang  lebih  tinggi yaitu  mencari  ridlo Allah (mardlatillah),  dari  pada sekedar  mencari  tujuan hidup sesaat  yang  tidak memiliki dimensi akhirat. Tujuan hidupnya lebih  tinggi dari sekedar mencari gengsi dan popularitas.


Dan  diantara manusia ada  orang  yang  mengorbankan dirinya karena mencari keridlaan Allah; dan Allah  Maha Penyantun  kepada  hamba-hamba-Nya.

(QS  2:207,  Al Baqarah).

Selanjutnya  beliau   menyatakan: "Banyak orang mengartikan tujuan hidup manusia sekedar untuk mencapai kebahagiaan  (happiness). Yakni hanya untuk  memperoleh suasana kehidupan yang menyenangkan, menikmati  karunia Tuhan dengan senang hati serta terhindar dari pelbagai penderitaan, kesengsaraan,  ataupun  kesedihan  karena faktor  alamiah  maupun  yang  berasal  dari   dirinya sendiri.  Barangkali  ini yang disebut  bahagia".
Namun  kebahagiaan  hidup  bukanlah  hanya  kebahagiaan duniawiah  semata, tetapi ada kebahagiaan hidup yang lebih  tinggi nilainya yaitu kebahagiaan ukhrawi dalam keabadian yang penuh dengan suka cita. Bagi manusia yang taqwa,  disamping dia mencari  kebahagiaan  hidup di dunia  dia  juga merasa berkepentingan dan berusaha untuk mencari kebahagiaan di akhirat yang hanya  dapat dicapai dengan karena mendapat ridla-Nya.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan itu hanyalah permainan  dan  suatu yang  melalaikan,  perhiasan  dan bermegah-megahan antara kamu  serta  berbangga-banggaan tentang  banyaknya harta dan anak, seperti  hujan  yang tanam-tanamannya  mengagumkan  para  petani;   kemudian tanaman  itu  menjadi  kering dan  kamu  lihat  warnanya kuning  kemudian  hancur.  Dan di akhirat  (nanti)  ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridlaan-Nya. Dan  kehidupan  dunia  ini  tidak  lain   hanyalah kesenangan yang menipu.  (QS 57:20, Al Hadiid).

Hai  jiwa  yang tenang.  Kembalilah  kepada  Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. Maka  masuklah ke dalam  jama'ah hamba-hamba-Ku, dan  masuklah  ke dalam Syurga-Ku .  (QS 89:27-30, Al Fajr).


Sebagai hamba Allah yang memikul tugas pengabdian, maka jama’ah Masjid berusaha untuk beribadah kepada Allah secara ikhlas dengan hanya mengharap keridloan-Nya semata. Bentuk-bentuk pengabdian dikarenakan sikap riya, ujub, takabur dan sum’ah  harus dihindari karena mengurangi bahkan menghilangkan makna pengabdian itu sendiri.  Dengan ber-fastabiqul khairat mereka berkompetisisi secara win-win dan menghindari sifat benci, dengki maupun iri karena tertinggal dari saudaranya; bahkan ketertinggalan itu memacu mereka untuk meningkatkan ibadah. Sekali lagi, mereka hanya mengiginkan ridlo Allah.


Keikhlasan beribadah terekspresi dalam ungkapan kalimat lillaahita’ala. Ini bukan berarti ibadah dilakukan secara asal-asalan. Bahkan dalam pengabdian mu’amalah jama’ah Masjid perlu berlaku militan, profesional, efektif dan efisien. Sikap ikhlas tidak membelenggu mereka dalam kejumudan dan ketidakberdayaan, tetapi menjadi pendorong untuk berkreasi dengan lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar